7/30/2017

Balada Jatuh Cinta dan Bersepeda


“Jatuh cinta merupakan ---“
“APA?” sahutku setengah berteriak
Aku mempercepat kayuhanku untuk menyusul empunya suara.
Ia menoleh kebelakang, lalu mulai berbicara kembali saat ia yakin aku sudah cukup dekat untuk mendengarkannya.
“Jatuh cinta merupakan bagian dari perbaikan diri. Ia adalah salah satu dari sekian banyak alasan penting bagi seorang anak manusia untuk memperbaiki dirinya. Orang yang belum pernah merasakan jatuh cinta tentu tidak akan tahu. Maksudku, jatuh cinta yang sebenarnya. Cinta yang, walaupun terdengar klise, sejati. Tidak seperti remaja-remaja yang baru merasakan cinta, maaf, monyet. Yang saat ditanya kenapa dia begitu mencintai pujaan hatinya, ia hanya berkata “tidak tahu”. Bukankah begitu seharusnya cinta, begitu murni dan tidak butuh alasan.” Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas, lalu kembali berbicara tanpa mengurangi laju kayuhannya.
“Yang seperti itu, kau tahu, bukanlah cinta. Cinta yang sesungguhnya adalah saat engkau ditanya seseorang mengapa kau mencintai orang tersebut, engkau menjawab “Aku jatuh cinta padanya karena setiap perjumpaan dengannya membuatku harus memperbaiki diriku sendiri.” Jika kau mendapati salah satu temanmu berkata demikian, maka bantulah ia. Bantulah ia menemukan kekurangannya dan memperbaikinya, bantulah ia mengembangkan setiap mili potensi-potensi kebaikannya, dan bantulah ia untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Walaupun yang mengucapkan itu tahu pasti bahwa, sejauh apapun ia berusaha berubah, ia merasa dirinya takkan cukup. Takkan setara dengan orang yang diam-diam dicintainya. Takkan sebaik orang yang dikaguminya. Sebab, begitulah cinta, ia akan membuatmu terus memperbaiki dirimu. Hingga saatnya gayung bersambut, ia akan berkata dalam isyaratnya “Cukup, aku juga tak sesempurna itu. Mari kita perbaiki diri kita bersama-sama”.
Ada beberapa kata-katanya yang tergaduh oleh desau angin atau riuhnya ombak disepanjang jalan itu, tapi aku terus memerhatikan dengan seksama, memusatkan seluruh darahku menuju telinga serta ke kakiku yang sudah bersusah payah mengejarnya untuk memastikan diriku mendengar petuahnya hingga akhir.
“Dan, jika kamu mendapati cinta yang seperti itu. Sedang kamu tidak bisa cerita kepada teman bahkan sahabatmu karena alasana apapun. Maka ceritakanlah kepada Yang menciptakan cinta itu, mintalah pertolongan-Nya dengan sabar dan shalat, bukankah pertolongan itu sudah dekat?”
Kakiku sudah benar-benar tak sanggup lagi. Pedalnya terasa begitu berat, tapi kata-kata yang meluncur dari mulutnya jauh lebih berat lagi. Yang mendengar dan yang didengar semakin berjarak. Hingga kemudian aku hanya melihat punggungnya semakin mengecil, semakin menjauh. Ia terus mengayuh dengan cepatnya, meluncur, kemudian menghilang ke masa depan. Meninggalkanku di masa kini, kebingungan.

No comments:

Post a Comment