“Jatuh cinta merupakan ---“
“APA?” sahutku setengah berteriak
Aku mempercepat kayuhanku untuk menyusul empunya suara.
Ia menoleh kebelakang, lalu mulai berbicara kembali saat ia
yakin aku sudah cukup dekat untuk mendengarkannya.
“Jatuh cinta merupakan bagian dari perbaikan diri. Ia adalah
salah satu dari sekian banyak alasan penting bagi seorang anak manusia untuk
memperbaiki dirinya. Orang yang belum pernah merasakan jatuh cinta tentu tidak
akan tahu. Maksudku, jatuh cinta yang sebenarnya. Cinta yang, walaupun
terdengar klise, sejati. Tidak seperti remaja-remaja yang baru merasakan cinta,
maaf, monyet. Yang saat ditanya kenapa dia begitu mencintai pujaan hatinya, ia
hanya berkata “tidak tahu”. Bukankah begitu seharusnya cinta, begitu murni dan
tidak butuh alasan.” Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas, lalu kembali
berbicara tanpa mengurangi laju kayuhannya.
“Yang seperti itu, kau tahu, bukanlah cinta. Cinta yang
sesungguhnya adalah saat engkau ditanya seseorang mengapa kau mencintai orang
tersebut, engkau menjawab “Aku jatuh cinta padanya karena setiap perjumpaan
dengannya membuatku harus memperbaiki diriku sendiri.” Jika kau mendapati salah
satu temanmu berkata demikian, maka bantulah ia. Bantulah ia menemukan
kekurangannya dan memperbaikinya, bantulah ia mengembangkan setiap mili
potensi-potensi kebaikannya, dan bantulah ia untuk lebih dekat dengan Tuhannya.
Walaupun yang mengucapkan itu tahu pasti bahwa, sejauh apapun ia berusaha
berubah, ia merasa dirinya takkan cukup. Takkan setara dengan orang yang
diam-diam dicintainya. Takkan sebaik orang yang dikaguminya. Sebab, begitulah
cinta, ia akan membuatmu terus memperbaiki dirimu. Hingga saatnya gayung
bersambut, ia akan berkata dalam isyaratnya “Cukup, aku juga tak sesempurna
itu. Mari kita perbaiki diri kita bersama-sama”.
Ada beberapa kata-katanya yang tergaduh oleh desau angin atau
riuhnya ombak disepanjang jalan itu, tapi aku terus memerhatikan dengan
seksama, memusatkan seluruh darahku menuju telinga serta ke kakiku yang sudah
bersusah payah mengejarnya untuk memastikan diriku mendengar petuahnya hingga
akhir.
“Dan, jika kamu mendapati cinta yang seperti itu. Sedang kamu
tidak bisa cerita kepada teman bahkan sahabatmu karena alasana apapun. Maka
ceritakanlah kepada Yang menciptakan cinta itu, mintalah pertolongan-Nya dengan
sabar dan shalat, bukankah pertolongan itu sudah dekat?”
Kakiku sudah benar-benar tak sanggup lagi. Pedalnya
terasa begitu berat, tapi kata-kata yang meluncur dari mulutnya jauh lebih
berat lagi. Yang mendengar dan yang didengar semakin berjarak. Hingga kemudian
aku hanya melihat punggungnya semakin mengecil, semakin menjauh. Ia terus
mengayuh dengan cepatnya, meluncur, kemudian menghilang ke masa depan. Meninggalkanku
di masa kini, kebingungan.
No comments:
Post a Comment