9/20/2020

Relawan dan Niat


 

"Mas, bangun mas! Interviewnya udah mau mulai tuh" ujar temanku dari seberang telepon via media sosial. Dalam keadaan yang belum sepenuhnya sadar, aku bergegas untuk cuci muka, memakai kemeja andalan, dan tidak lupa untuk meminyaki rambutku yang mulai gondrong agar tampak rapi di depan kamera.

Interview kali ini adalah interview pertama setelah aku menyandang status resmi sebagai pengangguran setelah program internship. Setelah menunggu kurang lebih 4 jam akhirnya aku memasuki ruangan interview secara daring. Ada 3-4 orang, seingatku, yang menanyakan berbagai hal mulai dari identitas, pendidikan, pengalaman, dan alasan bergabung serta beberapa pertanyaan tambahan lainnya. Tentu saja tidak sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut hingga akhirnya pertanyaan itu muncul: "mengapa ingin menjadi relawan?"

"Untuk pergantian pemain, dok." Ujarku mantap.

Sedikit mundur ke belakang, sama seperti kebanyakan orang, aku menganggap pandemi ini hanya sebagai penyakit "flu biasa" yang akan menghilang dengan sendirinya. Rajin cuci tangan dengan sabun, pakai masker, dan tingkatkan imunitas adalah rumus utama dalam mengatasi virus. Tapi yang jadi masalah adalah bisakah kita terbiasa dengan hal tersebut? Dari yang saat mau makan biasanya hanya cuci tangan dari bulir-bulir air yang muncul pada kemasan luar minuman dingin, tidak terbiasa pakai masker atau biasa memakai masker tetapi salah pemakaiannya, dst dst. Semua baik-baik saja hingga ketika kasus pertama diumumkan. Seiring berjalan waktu semakin banyak pula orang yang terinfeksi penyakit ini, semakin banyak pula orang yang meninggal. Tidak terkecuali dokter.

Satu per satu mulai tumbang, mulai dari guru besar, konsulen, residen, dokter umum. Sedangkan statusku saat itu hanyalah seorang dokter internship yang tidak lebih baik dari rimah rengginang. Hanya seorang pemain cadangan yang menunggu kapan bisa maju ke garis terdepan menggantikan dokter-dokter utama yang membutuhkan istirahat. Karena sama-sama kita ketahui bahwa pertandingan melawan pandemi ini akan berlangsung sangat lama jika vaksin belum juga ditemukan. Jangan sampai ibu pertiwi kehilangan putra-putri terbaiknya lagi hanya karena kerja-kerja yang tidak mungkin ditinggalkan baik sebagai dokter maupun sebagai manusia.

"Hehehe, emangnya mau main bola?" Tanya mereka lagi.

"Bukan dok, maksud saya sudah terlalu banyak sejawat yang meninggal saat pandemi ini dok. Walaupun saya tidak lebih baik dari mereka (yang saya gantikan) saya ingin menggantikan mereka sebentar saja untuk membiarkan mereka memulihkan jiwa dan raganya setelah sekian lama berjuang di lini terdepan dok. Agar berikutnya mereka bisa berjuang lagi dalam performa terbaiknya dan supaya tidak ada lagi sejawat yang gugur akibat kelelahan".

Jujur, setelah interview aku tidak yakin lolos masuk sebagi relawan, entah karena jawaban-jawabanku yang absurd atau karena pengalaman serta kompetensiku tidak sebaik relawan-relawan yang diterima sebelumnya atau mungkin karena inferiority complex yang kumiliki. Yang jelas saat itu aku tidak terlalu berharap bisa masuk sebagai relawan dan mulai memikirkan untuk tetap menjadi pahlawan dengan berdiam diri di rumah hingga pandemi ini berakhir.

Qadarullah, aku dan temanku bisa bergabung menjadi relawan di rumah sakit darurat ini. Kemudian kami menjalani beberapa proses sebelum turun ke zona merah. Mulai dari medical check up, materi-materi pembelajaran, hingga juknis saat bekerja (re: berjuang) sebagai relawan.

Saat semua materi selesai, kami dikumpulkan dalam 1 ruangan (tentunya dengan tetap menjaga jarak dan menggunakan masker) untuk perkenalan diri dalam rangka memperkuat kekompakan tim. Selain identitas diri, lagi-lagi kami ditanyakan mengenai "mengapa mau bergabung?"

Masing-masing mulai menyatakan alasannya, alasan yang membuat "kami" berani meninggalkan zona nyaman dan berjuang di lini depan. Ada yang menjawab secara sungguh-sungguh, ada juga yang sekenanya. Ada yang menjawab secara ideal, ada juga yang menjawab menggunakan realita yang ada.

Kadang hatiku mencelos saat mendengar alasan yang tidak seharusnya mereka pergunakan di sini. Aku sempat men-judge orang-orang tersebut dengan label yang kurang baik. Tapi semakin lama aku berpikir aku menyadari bahwa ada beberapa hal tentang hati yang tak mungkin diucapkan dengan lisan. Tidak mungkin orang-orang ini, pikirku kemudian, mengorbankan jiwa raga untuk materi yang tak seberapa. 

Aku mulai belajar di sini tentang kebaikan hati yang tak selalu tertuang dalam diksi. Dan itu semakin kupahami saat kami mulai berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Aku tetiba teringat dengan salah satu frasa hidup yang aku pernah dengar, bahwa "orang-orang dengan tujuan yang sama akan dipertemukan di perjalanan". 

Dan disinilah kami, memulai perjalanan berbahaya ini atas panggilan nurani. Yang setiap panggilannya adalah hal suci, yang kemudian bisa kami jadikan bukti kebermanfaatan diri kepada Illahi.

Maka, tulisan ini dipersembahkan sebagai prasasti memori agar kelak saat aku, kita, dan orang-orang baik lainnya yang mulai merasa tidak bersemangat atau mungkin sedikit tersesat bisa kembali mengingat bahwa titik awal kita adalah nurani. Semoga Tuhan selalu menjaga niat-niat baik kita.



Wisma Atlet Kemayoran, 30926

Jakarta, 20 September 2020

7/30/2017

Balada Jatuh Cinta dan Bersepeda


“Jatuh cinta merupakan ---“
“APA?” sahutku setengah berteriak
Aku mempercepat kayuhanku untuk menyusul empunya suara.
Ia menoleh kebelakang, lalu mulai berbicara kembali saat ia yakin aku sudah cukup dekat untuk mendengarkannya.
“Jatuh cinta merupakan bagian dari perbaikan diri. Ia adalah salah satu dari sekian banyak alasan penting bagi seorang anak manusia untuk memperbaiki dirinya. Orang yang belum pernah merasakan jatuh cinta tentu tidak akan tahu. Maksudku, jatuh cinta yang sebenarnya. Cinta yang, walaupun terdengar klise, sejati. Tidak seperti remaja-remaja yang baru merasakan cinta, maaf, monyet. Yang saat ditanya kenapa dia begitu mencintai pujaan hatinya, ia hanya berkata “tidak tahu”. Bukankah begitu seharusnya cinta, begitu murni dan tidak butuh alasan.” Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas, lalu kembali berbicara tanpa mengurangi laju kayuhannya.
“Yang seperti itu, kau tahu, bukanlah cinta. Cinta yang sesungguhnya adalah saat engkau ditanya seseorang mengapa kau mencintai orang tersebut, engkau menjawab “Aku jatuh cinta padanya karena setiap perjumpaan dengannya membuatku harus memperbaiki diriku sendiri.” Jika kau mendapati salah satu temanmu berkata demikian, maka bantulah ia. Bantulah ia menemukan kekurangannya dan memperbaikinya, bantulah ia mengembangkan setiap mili potensi-potensi kebaikannya, dan bantulah ia untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Walaupun yang mengucapkan itu tahu pasti bahwa, sejauh apapun ia berusaha berubah, ia merasa dirinya takkan cukup. Takkan setara dengan orang yang diam-diam dicintainya. Takkan sebaik orang yang dikaguminya. Sebab, begitulah cinta, ia akan membuatmu terus memperbaiki dirimu. Hingga saatnya gayung bersambut, ia akan berkata dalam isyaratnya “Cukup, aku juga tak sesempurna itu. Mari kita perbaiki diri kita bersama-sama”.
Ada beberapa kata-katanya yang tergaduh oleh desau angin atau riuhnya ombak disepanjang jalan itu, tapi aku terus memerhatikan dengan seksama, memusatkan seluruh darahku menuju telinga serta ke kakiku yang sudah bersusah payah mengejarnya untuk memastikan diriku mendengar petuahnya hingga akhir.
“Dan, jika kamu mendapati cinta yang seperti itu. Sedang kamu tidak bisa cerita kepada teman bahkan sahabatmu karena alasana apapun. Maka ceritakanlah kepada Yang menciptakan cinta itu, mintalah pertolongan-Nya dengan sabar dan shalat, bukankah pertolongan itu sudah dekat?”
Kakiku sudah benar-benar tak sanggup lagi. Pedalnya terasa begitu berat, tapi kata-kata yang meluncur dari mulutnya jauh lebih berat lagi. Yang mendengar dan yang didengar semakin berjarak. Hingga kemudian aku hanya melihat punggungnya semakin mengecil, semakin menjauh. Ia terus mengayuh dengan cepatnya, meluncur, kemudian menghilang ke masa depan. Meninggalkanku di masa kini, kebingungan.